Dalam Islam, ibadah harus ikhlas karena Allah Swt semata. Ibadah yang disertai riya'(ingin dipuji orang lain, pamer) tertolak oleh Allah Swt.
Selain ikhlas, amal ibadah kepada Allah Swt juga harus disertai kepedulian sosial. Seorang ahli ibadah juga harus peduli sesama, suka menolong, gemar sedekah, dan sejenisnya.
Imam Al Ghazali di dalam kitabnya Mukasyafatul Qulub mengisahkan seorang ahli ibadah yang amalnya ditolak karena riya dan tidak peduli sesama.
Disebutkan seorang ahli ibadah bernama Abu bin Hisyam. Ia orang yang rajin bangun malam untuk shalat tahajud.
Pada suatu malam, saat hendak mengambil wudhu, Abu bin Hisyam dikagetkan kedatangan sesosok makhluk. Makhluk itu tepat berada di bibir sumur.
“Wahai hamba Allah, siapakah engkau?” tanya Abu bin Hisyam. “Aku adalah Malaikat utusan Allah SWT,” jawab makhluk itu.
Jawaban itu membuat Abu bin Hisyam semakin kaget sekaligus bangga lantaran ia merasa dirinya ahli ibadah.
Dia lalu bertanya, “Apa yang kamu lakukan di sini?”
“Aku diperintahkan untuk mencari hamba pecinta Allah SWT,” jawab malaikat tersebut.
Melihat Malaikat memegang buku catatan amal perbuatan yang tebal, maka Abu bin Hisyam buru-buru bertanya.
“Wahai Malaikat, buku apakah yang engkau bawa?,” tanya Abu Hisyam
“Ini adalah buku kumpulan nama-nama hamba pencinta Allah,” jawab malaikat.
Mendengar jawaban Malaikat tersebut, Abu bin Hisyam berharap namanya tercantum dalam buku catatan amal tersebut. Lalu ia kembali bertanya.
“Wahai Malaikat, adakah namaku di situ?” tanya Abu bin Hasyim
Abu bin Hisyam menduga dan meyakini namanya ada di buku itu, mengingat amal ibadahnya yang tidak kenal putusnya.
Selalu mengerjakan salat tahajud setiap malam, berdoa dan bermunajat kepada Allah Swt di sepertiga malam.
“Baiklah, biar aku lihat,” jawab malaikat, sembari membuka buku tebalnya.
Ternyata, nama Abu bin Hisyam, yang ahli ibadah itu, tak ada dalam daftar catatan buku tersebut. Amal ibadahnya selama ini ditolak Allah Swt atau tidak tercatat sebagai amal ibadah.
Saking kagetnya, tubuh Abu bin Hisyam gemetar dan ia jatuh tersungkur, lalu menangis sejadi-jadinya.
“Betapa ruginya aku yang di setiap malam selalu melaksanan shalat tahajud dan bermunajat, tetapi namaku tidak masuk dalam golongan para hamba pecinta Allah SWT,” kata Abu bin Hisyam.
Malaikat menjelaskan perihal ketiadaan namanya dalam buku catatan amal bukan sebab kealpaannya, namun memang Allah Swt melarang mencatat namanya.
“Wahai Abu bin Hasyim, bukan aku tidak tahu engkau bangun setiap malam ketika yang lain tidur, mengambil air wudhu dan kedinginan pada saat orang lain terlelap dalam buaian malam. Tapi tanganku dilarang Allah Swt menulis namamu,” kata Malaikat.
Abu bin Hisyam penasaran. Dia kemudian bertanya, mengapa Allah Swt melarang malaikat mencatat namanya.
“Apa gerangan yang menjadi penyebabnya?” kata Abu bin Hisyam.
“Engkau memang bermunajat kepada Allah Swt, tapi engkau memamerkan dengan rasa bangga hal tersebut kepada siapa pun serta asyik beribadah memikirkan diri sendiri tanpa memikirkan orang lain,” jelas malaikat.
“Di kanan kirimu ada orang sakit dan lapar, tidak engkau jenguk dan beri makan. Bagaimana mungkin engkau dapat menjadi hamba pecinta Allah Swt dan dicintai oleh-Nya, kalau engkau sendiri tidak pernah mencintai hamba-hamba yang diciptakan Allah SWT?” imbuh Malaikat.
Abu bin Hisyam tersadar bahwa ibadah yang dilakukan terus-menerus selama bertahun-tahun ternyata sia-sia karena perilaku riya’ (pamer) serta tidak peduli akan kondisi lingkungan sekitar yang membutuhkan uluran tangannya.
Semoga kisah tersebut mengingatkan kita pentingnya ikhlas dalam beribadah dan tidak melupakan lingkungan sekitar yang memerlukan kepedulian dan bantuan kita. Amin Ya Rabbal álamin. Wallahu a’lam bish-shawabi.