Setiap Muslim Wajib Dakwah

Pengertian Dakwah

Dakwah merupakan salah satu kewajiban dalam Islam. Setiap muslim wajib berdakwah sesuai dengan kapasitas masing-masing.

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ

“Kalian (umat Islam) adalah umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran, dan beriman kepada Allah…” (QS Ali Imran:110).

Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI  menjelaskan, setelah Allah Swt menjelaskan kewajiban berdakwah bagi umat Islam dan menjaga persatuan dan kesatuan, maka dalam ayat ini dijelaskan bahwa kewajiban tersebut dikarenakan kamu (umat Islam) adalah umat terbaik dan paling utama di sisi Allah yang dilahirkan, yaitu ditampakkan untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, karena kamu menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah dengan iman yang benar, sehingga kalian menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya serta beriman kepada rasul-rasul-Nya.

Itulah tiga faktor yang menjadi sebab umat islam mendapat julukan umat terbaik. Sekiranya ahli kitab beriman sebagaimana umat islam beriman, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar serta tidak bercerai-berai dan berselisih tentang kebenaran ajaran agama Allah (Islam), tentulah itu lebih baik bagi mereka.

Kenyataannya di antara mereka ada yang beriman sebagaimana imannya umat Islam, sehingga sebagian kecil dari mereka ini pantas mendapat julukan sebaik-baik umat (khairu ummah), namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik, tidak mau mengikuti petunjuk dan tidak taat kepada Allah serta mengingkari syariat-Nya.

Meskipun kebanyakan ahli kitab adalah fasik, tetapi mereka tidak akan membahayakan kamu, karena Allah akan menjaga kamu selama kamu menjalankan tiga faktor yang disebut dalam ayat sebelumnya.

Tidak ada yang bisa mereka lakukan kecuali gangguan-gangguan kecil saja, seperti cemoohan, ancaman, dan cercaan. Dan jika suatu ketika mereka memerangi kamu, niscaya Allah akan menolong orang-orang yang beriman, sehingga mereka mundur berbalik ke belakang karena kalah. Selanjutnya mereka tidak mendapat pertolongan dari siapapun. (Tafsirweb).

Islam Agama Dakwah

Islam adalah agama da’wah. Islam harus disebarkan kepada seluruh umat manusia. Dengan demikian, umat Islam bukan saja berkewajiban melaksanakan ajaran Islam dalam keseharian hidupnya, melainkan juga harus menyampaikan (tabligh) atau menda’wahkan kebenaran Islam terhadap orang lain.

Para pemeluk Islam (kaum muslimin) digelari Allah Swt sebagai umat pilihan, sebaik-baik umat, yang mengemban tugas dakwah, yaitu mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran.

Oleh karena itu, aktivitas da’wah harus menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari seorang Muslim. Ayat lain menegaskan:

ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ

“Serulah oleh kalian (umat manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka secara baik-baik…” (QS. An-Nahl:125).

Setiap Muslim Juru Dakwah

Setiap muslim adalah da’i (juruda’wah). Menjadi seorang muslim otomatis menjadi juru dakwah, menjadi mubalig, bila dan di mana saja, di segala bidang dan ruang.

“Kedudukan kuadrat” yang diberikan Islam kepada pemeluknya ialah menjadi seorang Muslim merangkap menjadi juru da’wah atau mubalig. (Mujahid Dakwah, KHM Isa Anshary, 1984:21).

Nabi Saw bersabda, “Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat dan engkau boleh menceritakan berita walaupun dari dan tentang Bani Israil, tidak ada halangannya”

“Katakanlah kebenaran itu walaupun rasanya pahit/berat” (H.R. Ibnu Hibban).

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran (kemaksiatan), maka cegahlah hal itu dengan tangannya (kekuasaan); jika tidak mampu, cegahlah dengan lisannya (ucapan); jika (masih) tidak mampu, maka cegahlah dengan hatinya, dan ini selemah-lemahnya iman” (H.R. Muslim).

Dakwah adalah salah satu bentuk komitmen muslim terhadap agamanya (Islam). Setiap muslim dan muslimat wajib mendakwahkan Islam, sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya masing-masing, sesuai dengan profesi dan dedikasinya masing-masing, kepada orang lain; baik orang Islam sendiri maupun orang-orang yang tidak atau belum beragama Islam (Kuliah Al-Islam, Endang Saifuddin Anshari, 1978:78).

Jelaslah, setiap muslim harus merasa terpanggil untuk melakukan perubahan (da’wah). Pasalnya, hadits tentang mengubah kemunkaran di atas menjadikan pengubahan sebagai kewajiban yang dibebankan kepada siapa saja yang melihat kemunkaran (Membangun Masyarakat Baru, Dr. Yusuf Qaradhawi, 1997).

Dakwah dapat diartikan sebagai upaya terus-menerus untuk melakukan perubahan pada diri manusia menyangkut fikiran (fikrah), perasaan (syu`ur), dan tingkah laku (suluk) yang membawa mereka kepada jalan Allah (Islam), sehingga terbentuk sebuah masyarakat Islami (al-mujtama` al-Islami).

Dakwah memiliki dimensi yang luas. Setidaknya, ada empat aktivitas utama da’wah.

  1. Mengingatkan orang akan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dengan lisan.
  2. Mengkomunikasikan prinsip-prinsip Islam melalui karya tulisnya.
  3. Memberi contoh keteladanan akan perilaku/akhlak yang baik.
  4. Bertindak tegas dengan kemampuan fisik, harta, dan jiwanya dalam menegakkan prinsip-prinsip Ilahi (Masa depan umat Islam Indonesia, Dr. Fuad Amsyari, 1993: 161).

Metode Dakwah

Tentang cara atau teknis berda’wah, Allah SWT dan Nabi Saw memberikan tuntunan (kaifiyah da’wah), sebagaiman dinyatakan dalam Q.S. An-Nahl:125 dan hadits tentang mengubah kemunkaran di atas.

Menurut Syaikh Muhammad Abduh, ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam garis besarnya, umat yang dihadapi seorang da’i dapat dibagi atas tiga golongan, yang masing-masingnya dihadapi dengan cara yang berbeda-beda sesuai hadits “Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar (takaran kemampuan) akal mereka” (H.R. Muslim).

1. Ada golongan cerdik-cendekiawan yang cinta kebenaran, berpikir kritis, dan cepat tanggap. Mereka ini harus dihadapi dengan hikmah, yakni dengan alasan-alasan, dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan akan mereka.

2. Ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berpikir kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian tinggi-tinggi. Mereka ini dipanggil dengan mau’idzatul hasanah, dengan ajaran dan didikan, yang baik-baik, dengan ajaran-ajaran yang mudah dipahami.

3. Ada golongan yang tingkat kecerdasannya di antara kedua golongan tersebut. Mereka ini dipanggil dengan mujadalah billati hiya ahsan, yakni dengan bertukar pikiran, guna mendorong supaya berpikir secara sehat (Fiqhud Da’wah, M. Natsir, 1987:162).

Panduan dakwah juga datang dari Nabi Saw lewat sabdanya tersebut di atas tentang mengubah kemunkaran (H.R. Muslim).

Menurut Dr. Kuntowijoyo (Identitas Politik Umat Islam, 1997:227-231), hadits tersebut merupakan strategi perubahan sosial-politik. Pada kenyataannya, selama ini terdapat tiga macam strategi yang diterapkan oleh umat Islam yang rujukannya hadits di atas: struktural, kultural, dan mobilitas sosial.

Tangan, lidah, dan hati masing-masing menunjuk ke struktur, kultur, dan mobilitas sosial. Mengubah dengan tangan berarti perubahan struktural. Mengubah dengan lidah berarti perubahan kultural. Mengubah dengan hati berarti perubahan sosial, tanpa usaha tertentu hanya menunggu waktu.

Rumus strategi struktural ialah pemberdayaan (empowerment) masyarakat, melalui tahapan memunculkan kesadaran kritis dan solidaritas sosial di mana kelompok kritis bersatu dalam sebuah gerakan dan menularkan kesadaran itu pada masyarakat. Strategi yang menonjolkan syari’ah ini mementingkan perubahan perilaku kolektif dan struktur politik.

Strategi kultural menekankan perubahan perilaku individual dan cara berpikir mementingkan perubahan di dalam. Strategi ini menonjolkan hikmah di mana berlaku rumusan umum mengenai dakwah (kaifiyat da’wah seperti tercantum dalam Q.S. An-Nahl:125).

Cara yang baik berarti cara-cara kultural, sama sekali tidak menggunakan pendekatan kekuasaan, paksaan, dan kekerasan.

Mengenai strategi mobilitas sosial, Kuntowijoyo merujuk kepada kelahiran Syarikat Islam (SI) dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) karena adanya perubahan struktur sosial kelahiran golongan terpelajar dan pedagang sebagai kelas menengah baru di kota-kota.

Sepanjang abad ke-9 mereka melawan kolonialisme hanya “melawan dengan hati”. Ketika “Islam Politik” dikucilkan sepanjang 970-1990, mereka juga hanya mampu “mengubah dengan hati”.

Kultur umat Islam dalam berdakwah selama ini lebih menonjolkan cara bil-lisan, orasi, atau pidato di atas mimbar. Bahkan, ketika para da’i berdakwah di media elektronik (televisi dan radio), mereka lebih mengedepankan gaya orator sebagaimana halnya di atas podium.

Padahal, dakwah di televisi atau radio harusnya mengedepankan dialog, gaya mengobrol, atau interaktif. Idealnya lagi, da’wah lewat televisi/radio dilakukan dengan menyelipkan pesan-pesan Ilahi lewat tayangan film, sinetron, drama, acara request di radio (pesan lagu dan kirim salam kepada sesama pendengar), dan sebagainya.

Tanpa bermaksud menafikan atau mengecilkan peran da’wah di atas podium, kini saatnya umat Islam –khususnya pada da’i– mendalami dan mempraktekkan da’wah bil qolam (dakwah dengan pena/tulisan).

Sumber: Jurnalistik Dakwah, Asep Syamsul M. Romli. Penerbit Rosda Bandung, 2002

Posted in Dakwah, Kajian and tagged , .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *