Cara dan Aturan I’tikaf Lailatul Qadar di Masjid Raya Al Jabbar

Cara dan Aturan I’tikaf Lailatul Qadar di Masjid Raya Al Jabbar. Registrasi Online.

Cara dan Aturan I'tikaf Lailatul Qadar di Masjid Raya Al Jabbar

Pengertian dan Cara I’tikaf

I’tikaf sangat dianjurkan dilaksanakan setiap waktu di bulan Ramadan, terutama pada sepuluh hari terakhir.

I’tikaf adalah ibadah yang dicirikan dengan berdiam diri di dalam masjid. Berdiam diri merujuk pada tidak keluar masjid karena sibuk melaksanakan berbagai ibadah wajib dan sunah.

I’tikaf dilakukan dengan berdiam diri di dalam masjid sembari memperbanyak dzikir, tafakkur, membaca tasbih, dan diutamakan untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an. Selain itu, dianjurkan pula untuk melaksanakan sholat sunah seperti sholat tahiyatul masjid atau sholat sunah lainnya.

Secara literal (lughatan), kata “الاعْتِكاف” berarti “الاحتباس” (memenjarakan). Ada juga yang mendefinisikannya dengan:

حَبْسُ النَّفْسِ عَنْ التَّصَرُّفَاتِ الْعَادِيَّةِ

“Menahan diri dari berbagai kegiatan yang rutin dikerjakan”.

Dalam terminologi syar’i (syar’an), para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan i’tikaf dikarenakan perbedaan pandangan dalam penentuan syarat dan rukun i’tikaf. Namun, kita bisa memberikan definisi yang umum bahwa i’tikaf adalah:

الْمُكْث فِي الْمَسْجِد لعبادة الله مِنْ شَخْص مَخْصُوص بِصِفَةٍ مَخْصُوصَة

“Berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah yang dilakukan oleh orang tertentu dengan tata cara tertentu”.

Dalil Pensyari’atan

I’tikaf disyari’atkan berdasarkan dalil dari Al Quran, sunnah, dan ijma’. Berikut dalil-dalil pensyari’atannya.

Dalil dari Al Quran

a. Firman Allah ta’ala,

وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (Al Baqarah: 125).

b. Firman Allah ta’ala,

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS Al Baqarah: 187).

Penyandaran i’tikaf kepada masjid yang khusus digunakan untuk beribadah dan perintah untuk tidak bercampur dengan istri dikarenakan sedang beri’tikaf merupakan indikasi bahwa i’tikaf merupakan ibadah.

Dalil dari sunnah

a. Hadits dari Ummu al-Mukminin, ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.”

b. Hadits dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”

Dalil Ijma’

Beberapa ulama telah menyatakan bahwa kaum muslimin telah berijma’ bahwa i’tikaf merupakan ibadah yang disyari’atkan. Diantara mereka adalah:

a. Ibnul Mundzir rahimahullah dalam kitab beliau Al Ijma’. Beliau mengatakan,

وأجمعوا على أن الاعتكاف لا يجب على الناس فرضا إلا أن يوجبه المرء على نفسه فيجب عليه

“Ulama sepakat bahwa i’tikaf tidaklah berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf, dengan demikian dia wajib untuk menunaikannya.”

b. An Nawawi rahimahullah mengatakan,

فالاعتكاف سنة بالاجماع ولا يجب إلا بالنذر بالاجماع

“Hukum i’tikaf adalah sunnah berdasarkan ijma dan ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf.”

c. Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “I’tikaf tidaklah wajib berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf.”

Hukum I’tikaf

Hukum asal i’tikaf adalah sunnah (mustahab) berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ ». فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ

“Sungguh saya beri’tikaf di di sepuluh hari awal Ramadhan untuk mencari malam kemuliaan (lailat al-qadr), kemudian saya beri’tikaf di sepuluh hari pertengahan Ramadhan, kemudian Jibril mendatangiku dan memberitakan bahwa malam kemuliaan terdapat di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Barangsiapa yang ingin beri’tikaf, hendaklah dia beri’tikaf (untuk mencari malam tersebut). Maka para sahabat pun beri’tikaf bersama beliau.”

Dalam hadits di atas, nabi memberikan pilihan kepada para sahabat untuk melaksanakan i’tikaf. Hal ini merupakan indikasi bahwa i’tikaf pada asalnya tidak wajib.

Status sunnah ini dapat menjadi wajib apabila seorang bernadzar untuk beri’tikaf berdasarkan hadits ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ

“Barangsiapa bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, dia wajib menunaikannya.”

‘Umar radhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai rasulullah! Sesungguhnya saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf selama satu malam di Masjid al-Haram.” Nabi pun menjawab, “Tunaikanlah nadzarmu itu!”

Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, “I’tikaf tidaklah wajib berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf.” (Muslim)

 

Posted in Info Al Jabbar, Kajian and tagged , , , .

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *