Hukum Syair dalam Islam dan Bersyair di Masjid

Hukum Syair dalam Islam dan Bersyair di Masjid

Syair adalah produk karya sastra di dunia Arab. Istilah syair juga berasal dari bahasa Arab, yaitu syi’ir atau syu’ur, yang berarti “perasaan yang menyadari”.

Dalam buku Naqd al-Syi’r disebutkan, syair adalah ucapan atau tulisan yang memiliki irama, ritme dan sajak serta unsur ekspresi rasa dan imajinasi.  Umat Islam familiar dengan syair berupa sholawat atau shalawatan dan syair berisi doa dan nadhom (dari kata نظم dalam bahasa Arab yang artinya syair atau puisi).

Bagaimana hukum syair dalam Islam dan bolehkah bersyair di masjid? Berikut ini penjelasannya yang dirangkum dari berbagai sumber.

Hukum Syair dalam Islam

Hukum syair dibolehkan (mubah) selama isinya mengandung hikmah, kebaikan, atau hal positif. Syair Islami adalah syair yang membangkitkan semangat ibadah atau berisi pengajaran Islam.

Dalam sebuah riwayat Rasulullah Saw mengemukakan terdapat hikmah di balik bait-bait syair.

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ الشِّعْرِ حِكْمَةً

Dari Ubai bin Ka’ab Bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya terdapat hikmah diantara (bait-bait) syair”. (HR Bukhari)

Nabi Saw pun senang terhadap lantunan syair.

حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ، وَابْنُ أَبِي عُمَرَ، كِلَاهُمَا عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ، قَالَ: ابْنُ أَبِي عُمَرَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مَيْسَرَةَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: رَدِفْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا، فَقَالَ: «هَلْ مَعَكَ مِنْ شِعْرِ أُمَيَّةَ بْنِ أَبِي الصَّلْتِ شَيْءٌ؟» قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: «هِيهْ» فَأَنْشَدْتُهُ بَيْتًا، فَقَالَ: «هِيهْ» ثُمَّ أَنْشَدْتُهُ بَيْتًا، فَقَالَ: «هِيهْ» حَتَّى أَنْشَدْتُهُ مِائَةَ بَيْتٍ

“Dari ‘Amru bin Asy Syarid dari ayahnya (Asy-Syarid bin Suwaid Ats-Tsaqafy) ia berkata : ”Suatu hari aku dibonceng oleh Rasulullah SAW. Maka beliau bertanya : ‘Apakah engkau hafal syair Umayyah bin Abish-Shalat?’ Aku menjawab: ‘Ya’. Beliau berkata : ‘Lantunkanlah!’. Maka aku pun melantunkan satu bait syair. (Setelah selesai), beliau pun berkata: ‘Teruskanlah!’. Maka aku pun melantunkan satu bait syair lagi. (Setelah selesai), beliau pun berkata hal yang sama: ‘Teruskanlah!’. Hingga aku melantunkan sekitar seratus bait syair” (HR Muslim).

Imam an-Nawawi menjelaskan hadis di atas dalam Syarh Shahih Muslim lin Nawawi, bahwa Nabi Saw menganggap syair Umayyah itu baik  dan meminta tambahan syair terhadapnya mengenai tema ketahuidan dan hari akhir.

Dalam hadis tersebut, terdapat kebolehan dalam pelantunan syair yang tidak mengandung kekejian, tentu sekaligus pembolehan untuk mendengarkannya.

Syair dilarang jika berisi ajakan keburukan atau berisi hal yang bertentangan dengan syariat Islam. Syair yang tidak Islami inilah yang dilarang Rasulullah Saw.

لَأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ رَجُلٍ قَيْحًا يَرِيهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا

“Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah daripada memenuhinya dengan sya’ir.” (HR Bukhori)

Ibnu Hajar berpendapat, faktor munculnya celaan yang keras dalam hadist Nabi ini dikarenakan pada saat itu, orang yang diajak bicara oleh Nabi adalah orang-orang yang hatinya keras dan waktunya dihabiskan hanya untuk bersyair. Rasulullah Saw bersabda seperti itu agar mereka mau kembali kepada Al-Qur’an, berdzikir, dan beribadah kepada Allah Swt.

Dalam kitab Maui’dhatul Mukminin, Syaikh Jamaluddin meringkas pendapat Imam Ghazali tentang lagu dan syair:

وَالْمَذْمُومُ مِنْهُمَا مَا اشْتَمَلَ عَلَى مُحَرَّمٍ أَوْ دُعَاءٍ إِلَيْهِ، كَتَشْبِيبٍ بِمُعَيَّنٍ، وَهِجَاءٍ، وَتَشَبُّهٍ بِالنِّسَاءِ، وَتَهْيِيجٍ لِفَاحِشَةٍ، وَلُحُوقٍ بِأَهْلِ الْخَلَاعَةِ وَالْمُجُونِ، وَصَرْفِ الْوَقْتِ إِلَيْهِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ، وَمَا خَلَا عَنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُبَاحٌ.

“Yang dianggap tercela dari lagu dan syair yaitu ketika berkenaan dengan perkara yang diharamkan atau menjerumuskan ke dalam perkara tersebut, di antaranya; menjelaskan sifat-sifat baik kepada orang yang ditertentukan, menghina, menyerupai wanita, membangkitkan pekerjaan yang jelek, berkumpul dengan orang yang mengumbar nafsu dan orang yang dianggap gila, waktunya dihabiskan untuk bersyair, dan selainnya. Sedang hal-hal yang disangsikan dari pekerjaan di atas, maka diperbolehkan.”

Hukum Syair di Masjid

Bagaimana hukum bersyair di dalam masjid? Syair di masjid atau mushalla merupakan suatu hal yang tidak dilarang oleh agama alias mubah (boleh), selama syairnya positif dan Islami –berisi ilmu yang bermanfaat atau nasihat– dan tidak mengganggu orang yang beribadah di masjid.

Pada zaman Rasulullah Saw para sahabat juga membaca sya’ir di masjid.

عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرُ بِحَسَّانَ بْنِ ثَابِتٍ وَهُوَ يُنْشِدُ فِى الْمَسْجِدِ فَلَحَظَ إِلَيْهِ فَقَالَ قَدْ أَنْشَدْتُ وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَى أَبِى هُرَيْرَةَ فَقَالَ أَسَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : أَجِبْ عَنِّى اللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ. قَالَ اللَّهُمَّ نَعَمْ. رواه أبو دادو والنسائي

“Dari Sa’id bin Musayyab ia berkata : suatu ketika Umar berjalan bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan sya’ir di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab : aku melantunkan sya’ir di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia dari pada kamu, kemudian dia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya, Ya Allah, mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan ruh al-qudus. Abu Hurairah menjawab: Ya Allah, benar (aku telah mendengarnya)”. (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).

Hassan bin Tsabit bin Al-Mundzir bin Harom bin ‘Amr Al-Anshari Al-Khazraji An-Najari adalah penyair Rasulullah Saw. Ia punya keutamaan sebagai penyair karena menjadi penyair Anshar di masa jahiliyah, menjadi penyair Nabi Saw di masa nubuwah, dan menjadi penyair di masa Islam.

Syaikh Isma’il Az-Zain dalam kitabnya Irsyadul Mukminin menjelaskan, boleh melantunkan sya’ir yang berisi puji-pujian, nasihat, pelajaran tatakrama, dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid.

Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi dalam kitabnya Tanwirul Qulub juga menjelaskan:

وَأَمَّا الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقِبَ اْلأَذَانِ فَقَدْ صَرَّحَ اْلأَشْيَاخُ بِسُنِّيَّتِهِمَا، وَلاَ يَشُكُّ مُسْلِمٌ فِيْ أَنَّهُمَا مِنْ أَكْبَرِ الْعِبَادَاتِ، وَالْجَهْرُ بِهِمَا وَكَوْنُهُمَا عَلَى مَنَارَةٍ لاَ يُخْرِجُهُمَا عَنِ السُّنِّيَّةِ. إهـ

“Adapun membaca shalawat dan salam atas Nabi Saw setelah adzan, para masyayikh menjelaskan bahwa hal itu hukumnya suat. Dan seorang muslim tidak ragu bahwa membaca shalawat dan salam itu termasuk salah satu cabang ibadah yang sangat besar. Adapun membacanya dengan suara keras dan di atas menara itu pun tidak menyebabkan keluar dari hukum sunat”.

Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf mendengar Hassan bin Tsabit al Anshari meminta kesaksian kepada Abu Hurairah r.a. (dan dari jalan Said ibnul Musayyab, berkata, “Umar lewat di masjid dan Hasan sedang bersenandung. Hassan berkata (kepada Umar yang memelototinya), ‘Aku pernah bersenandung (bersyair) di dalamnya, sedangkan di sana ada orang yang lebih baik daripada engkau.’ Hassan lalu menoleh kepada Abu Hurairah seraya berkata, 4/79), [‘Hai Abu Hurairah, 7/109], aku meminta kepadamu dengan nama Allah, apakah kamu mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Wahai Hassan, jawablah dari Rasulullah saw (dalam satu riwayat: jawablah dariku). ‘Wahai Allah, kuatkanlah ia dengan ruh suci (Jibril).’ Abu Hurairah menjawab, ‘Ya.’”

Ada sebagian ulama melarang syair dibaca di masjid berdasarkan hadits :

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ تَنَاشُدِ الْأَشْعَارِ فِي الْمَسْجِدِ

Dari Amru Bin Syuaib, dari bapaknya, dari kakeknya berkata : Rosululloh shollallohu alaihi wasallam melarang mendendangkan syair-syair di masjid [HR Ibnu Khuzaimah]

Namun, larangan yang dimaksud adalah mendendangkan syair-syair jahiliyyah dan ahli kebatilan dan syair apa saja yang tidak memiliki tujuan yang benar.

Al-Qurthubi mengatakan dalam tafsirnya (XII/271): ‘Hendaknya dilihat bentuk syairnya. Jika syairnya mengandung pujian kepada Allah dan Rasul-Nya atau mengajak kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, mengajak kepada kebaikan, peringatan, zuhud di dunia maka syair ini adalah termasuk sesuatu yang baik diungkapkan di masjid. Dan selain itu tidak diperbolehkan’. (Ats-Tsamaru Al-Mustathab, 11/657).

Dalam Shahih Al-Bukhari dalam Bab Bersyair dalam Masjid. Para ulama membuat penjelasan bahwa syair yang dilarang itu ialah yang menyairkan perkara yang batal (bukan kebenaran) yang tidak layak dilakukan dalam masjid (seperti memuja kebendaan dan hawa nafsu). Sebaliknya harus/dianjurkan bila syair itu memuji perkara keagamaan dan menegakkan syariat Islam. Kata Abu Isa At-Turmudzi, banyak Hadith yang memberi kelonggaran bersyair dalam masjid.

Meski besyair dalam masjid dibolehkan, namun jangan sampai jamaah di dalam masjid menjadikan hal ini sebagai aktivitas rutin karena akan menghilangkan ketenangan dan kemuliaan masjid, serta tidak membuat terganggu orang yang sedang beribadah di masjid. Wallahu a’lam bish-shawabi.

Posted in Kajian and tagged , , .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *