Pengertian Idul Adha dan Sejarah Idul Kurban

Pengertian Idul Adha dan Sejarah Idul Kurban

Idul Adha (عيد الأضحى) adalah salah satu hari raya besar dalam agama Islam, yang dirayakan setiap tanggal 10 Dzulhijjah dalam kalender Hijriyah. Idul Adha sering disebut juga sebagai Hari Raya Kurban. Berikut adalah penjelasan lebih rinci tentang pengertian Idul Adha dan sejarahnya.

Pengertian Idul Adha

Idul Adha atau Iduladha terdiri dari dua kata, Id dan Adha. Kata ‘Id’ diambil dari bahasa Arab ‘ada yang artinya ‘kembali’, sedangkan ‘Adha’ merupakan jamak dari ‘adhat‘ yang berasal dari kata ‘udhiyah’ yang artinya ‘kurban’.

Jadi, Idul Adha dapat diartikan ‘kembali berkurban’ atau hari raya penyembelihan hewan kurban.

Idul Adha disebut juga Hari Raya Kurban karena pada hari ini umat Islam dianjurkan untuk menyembelih hewan kurban, seperti kambing, sapi, atau domba. Penyembelihan hewan ini merupakan bentuk kepatuhan kepada perintah Allah dan meneladani Nabi Ibrahim a.s. yang bersedia mengorbankan putranya Ismail sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Allah kemudian menggantikan Ismail dengan seekor domba untuk disembelih.

Idul Adha merupakan bagian dari perayaan keagamaan yang juga bertepatan dengan puncak ibadah haji di Mekah. Pada hari ini, jamaah haji melaksanakan wukuf di Arafah, yang merupakan salah satu rukun haji yang paling utama.

Perayaan Idul Adha diawali dengan pelaksanaan Salat Idul Adha pada pagi hari. Salat ini dilakukan secara berjamaah di masjid atau lapangan terbuka, diikuti dengan khutbah yang memberikan nasihat dan pengingat tentang makna dan pentingnya Idul Adha.

Setelah penyembelihan hewan kurban, dagingnya dibagi menjadi tiga bagian: satu bagian untuk keluarga yang berkurban, satu bagian untuk saudara dan tetangga, dan satu bagian lagi untuk diberikan kepada fakir miskin. Pembagian daging kurban ini bertujuan untuk meningkatkan solidaritas sosial dan membantu mereka yang membutuhkan.

Idul Adha diikuti oleh tiga hari yang disebut Hari Tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah). Pada hari-hari ini, umat Islam masih diperbolehkan menyembelih hewan kurban dan dilarang untuk berpuasa.

Idul Adha adalah waktu untuk memperkuat hubungan dengan Allah melalui ketaatan dan pengorbanan, serta mempererat hubungan sosial dengan berbagi rezeki kepada sesama.

Idul Adha disebut juga lebaran haji. Kenapa Idul Adha disebut Lebaran Haji? Sebabnya, bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha, umat Islam dari seluruh dunia tengah melaksanakan ibadah haji di tanah suci, Mekkah.

Sejarah Idul Adha

Sejarah Idul Adha adalah sejarah pengorbanan Nabi Ibrahim a.s. Kisahnya berawal ketika Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah Swt. untuk menempatkan istrinya, Hajar, bersama anaknya, Ismail, yang saat itu masih menyusu.

Hajar dan Ismail ditempatkan disuatu lembah yang tandus, gersang, tidak tumbuh sebatang pohon pun. Lembah itu demikian sunyi dan sepi tidak ada penghuni seorangpun.

Nabi Ibrahim sendiri tidak tahu, apa maksud sebenarnya dari wahyu Allah yang menyuruh menempatkan istri dan putranya yang masih bayi itu, ditempatkan di suatu tempat paling asing, di sebelah utara kurang lebih 1600 KM dari negaranya sendiri, Palestina.

Tapi baik Nabi Ibrahim, maupin istrinya Siti Hajar, menerima perintah itu dengan ikhlas dan penuh tawakkal.

رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ الصَّلاَةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ

“Ya Tuhan kami sesunggunnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di suatu lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumahmu (Baitullah) yang dimuliakan. Ya Tuhan kami (sedemikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah gati sebagia manusia cenderung kepada mereka dan berizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS Ibrahim: 37).

Diceritakan oleh Ibnu Abbas r.a., tatkala Siti Hajar kehabisan air minum hingga tidak biasa menyusui nabi Ismail, beliau mencari air kian kemari sambil lari-lari kecil (Sa’i) antara bukit Sofa dan Marwah sebanyak 7 kali. Tiba-tiba Allah mengutus malaikat jibril membuat mata air Zam Zam. Siti Hajar dan Nabi Ismail memperoleh sumber kehidupan.

Lembah yang dulunya gersang itu, mempunyai persediaan air yang melimpah-limpah. Datanglah manusia dari berbagai pelosok terutama para pedagang ke tempat siti hajar dan nabi ismail, untuk membeli air.

Datang rezeki dari berbagai penjuru, dan makmurlah tempat sekitarnya. Akhirnya lembah itu hingga saat ini terkenal dengan kota mekkah, sebuah kota yang aman dan makmur, berkat do’a Nabi Ibrahim dan berkat kecakapan seorang ibu dalam mengelola kota dan masyarakat.

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـَذَا بَلَداً آمِناً وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُم بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo’a: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, sebagai negeri yang aman sentosa dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kiamat.” (QS Al-Baqarah: 126)

Dalam kitab Misykatul Anwar disebutkan, Nabi Ibrahim memiliki kekayaan 1000 ekor domba, 300 lembu, dan 100 ekor unta.

Riwayat lain mengatakan, kekayaan Nabi Ibrahim mencapai 12.000 ekor ternak. Suatu jumlah yang menurut orang di zamannya adalah tergolong milliuner.

Ketika pada suatu hari, Ibrahim ditanya oleh seseorang “milik siapa ternak sebanyak ini?” maka dijawabnya:

“Kepunyaan Allah, tapi kini masih milikku. Sewaktu-waktu bila Allah menghendaki, aku serahkan semuanya. Jangankan cuma ternak, bila Allah meminta anak kesayanganku Ismail, niscaya akan aku serahkan juga.”

Ibnu Katsir dalam tafsir Al-Qur’anul ‘adzim mengemukakan, pernyataan Nabi Ibrahim yang akan mengorbankan anaknya jika dikehendaki oleh Allah itulah yang kemudian dijadikan bahan ujian, yaitu Allah menguji iman dan taqwa Nabi Ibrahim melalui mimpinya yang haq, agar ia mengorbankan putranya yang kala itu masih berusia 7 tahun. Anak yang elok rupawan, sehat lagi cekatan ini, supaya dikorbankan dan disembelih dengan menggunakan tangannya sendiri.

قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

“Ibrahim berkata : “Hai anakkku sesungguhnay aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu “maka fikirkanlah apa pendapatmu? Ismail menjawab: Wahai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS Ash-shaffat: 102).

Ketika keduanya siap untuk melaksanakan perintah Allah, setan menggoda Ibrahim agar membatalkan niatnya mengurbankan Ismail.

Nabi Ibrahim pun mengambil batu, lalu mengucapkan, “Bismillahi Allahu akbar,”, dan batu itu dilemparkan kepada setan.

Kini seluruh jamaah haji sekarang mengikuti apa yang dulu dilakukan oleh Nabi Ibrahim ini di dalam mengusir setan dengan melempar batu sambil mengatakan, “Bismillahi Allahu akbar”. Hal ini menjadi salah satu rangkaian ibadah haji yakni melempar jumrah.

Ketika sang ayah belum juga mengayunkan pisau di leher putranya. Ismail mengira ayahnya ragu, seraya ia melepaskan tali pengikat tali dan tangannya, agar tidak muncul suatu kesan dalam sejarah bahwa sang anak menurut untuk dibaringkan karena dipaksa ia meminta ayahnya mengayunkan pisau sambil berpaling, supaya tidak melihat wajahnya.

Nabi Ibrahim memantapkan niatnya. Nabi Ismail pasrah bulat-bulat, seperti ayahnya yang telah tawakkal.

Sedetik setelah pisau nyaris digerakkan, tiba-tiba Allah berseru dengan firmannya, menyuruh menghentikan perbuatannya tidak usah diteruskan pengorbanan terhadap anaknya. Allah telah meridloi kedua ayah dan anak memasrahkan tawakkal mereka.

Sebagai imbalan keikhlasan mereka, Allah mencukupkan dengan penyembelihan seekor kambing sebagai korban, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an surat As-Saffat ayat 107-110:

وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ

“Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”

وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ

“Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) dikalangan orang-orang yang datang kemudian.”

سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ

“Yaitu kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada Nabi Ibrahim.”

كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ

“Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Menyaksikan tragedi penyembelihan yang tidak ada bandingannya dalam sejarah umat manusia itu, Malaikat Jibril kagum, seraya terlontar darinya suatu ungkapan “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.”

Nabi Ibrahim menjawab “Laailaha illahu Allahu Akbar.” Yang kemudian dismbung oleh Nabi Ismail “Allahu Akbar Walillahil Hamdu.’

Demikian pengertian dan sejarah Idul Adha yang bersumber dari pengorbanan keluarga Nabi Ibrahim a.s. Wallahu a’lam bish-showabi.

Posted in Kajian and tagged , , .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *